Selasa, 14 Juli 2009

u N' me

Matahari tlah kembali dedari tadi
Lama ku berdiri menanti rembulan di sini
Tak peduli meski sepi mengunci Perlahan gelap merayap teramat pekat
Pijar bintang terlihat lamat-lamat
Hening mengusik sebuah hasrat
Dirimu di hatiku masih lekat Seperti malam ini aku menanti
Tak peduli hari kan berganti seribu kali

Penyesalan yang kau rasakan.
Menyelinap disetiap hening malam.
Kan kau anggap sebagai hukuman.
Pedihnya... mengorek setiap jengkal ingatan.

Jalan setapak
Dalam gelap berpeluh asap
Polesan kemunafikan mengulum ragaku
Tanpa sempat
Sedikit menguak kala ku beranjak

gelap merayap, merebut hari...
Aku tetap merangkak dalam perih
Yakin saja titik cahaya itu ada untuk kita
Walau peluhnya semakin membuat perih

Kamis, 02 Juli 2009

RENJANA DALAM JELAGA

Berdesir dalam maya
Aku termakan kata
Hingga merana
Meradang dalam jelaga

Menggelayut dalam malam
Tercipta rasa yang tak biasa
Asmara memenuhi nada-nada
Aku menghindar
justru tersungkur jatuh di dasarnya

Memintal romansa malam
Saat bulan belum purnama
Buyar di sudut mata
Terang benderang di puri bathin

Menunggu renjana di sudut kata
Menggelepar di bawah jingga
Terlena dalam sayatan
Tetapi aku menikmatinya

Hadirmu menghujam jiwaku yang lelah
Menantingku, mengajakku berdansa
Dalam genangan air mata

..........................terjerat renjana pada akhirnya

Senin, 22 Juni 2009

Love At First Sight

Subhanallah....amazing....
sesaat aku tertawan waktu. Pertama buka Facebook lihat ada request friend tiba-tiba ada semacam hangat menelusup menggeliat mengajakku menari dalam uphoria kenangan lama. Aku menelusuri catatan-catatan manis yang tertata rapih di bilik hati. Beberapa kenangan masih terbaca jelas, karena semua yang pernah terlewati dan pernah singgah dalam kehidupanku, kujadikan kenangan dan pelajaran, baik itu dalam bentuk kenangan nasehat atau amarah dari Orangtua ataupun Guru, terutama manisnya hari-hari bersama sahabat dimana masa-masa remaja adalah milik kita. Hari-hari yang terbalut cinta membuat kita semakin bermakna. Aku, Moe dan Jingga adalah kenangan yang tak lekang oleh waktu.

Aku berhenti pada kenangan 14 tahun silam tepatnya pada saat pelantikan PMR di Pageralang beberapa kilometer dari Buntu, dan aku salah satu dari peserta pelantikan PMR kali itu. Aku mempercepat langkah menuju tenda kemah, yang pasti kalau telat dapat hukuman secara mau upacara pembukaan. Lumayan mudah untuk berjalan tergesa-gersa karena aku pakai seragam PMR, karena pakai celana panjang, kebayangkan...kalau pakai rok sekolah haduuuh pastinya ribet.

Tiba-tiba seperti tersengat ribuan lebah, tetapi pada saat itu aku rela saja di sengat ribuan lebah, karena ribuan lebah itu membentuk formasi lambang waru...oh no babe....aku tercekat tiba-tiba, tertahan langkahku seakan aku ada di depan pintu palang kereta api. Secara kereta api yang mau lewat kereta api Argo Lawu, haduuh kebayang kan kalau aku kesenggol aja, kripik tempe Banyumas kalah tipisnya... Dari arah berlawanan terlihat jelas sosok tinggi kurus dengan seragam PMR seadanya, tanpa perlengkapan lengkap, kalau di lihat dari penampilannya yang pasti dia bukan peserta kalau peserta PMR, masak sih dia rela dijadikan kambing guling pada hari pertama kita pelantikan PMR?... Gayanya super cool, tanpa ekspresi, tapi sumpah dia manis banget. Aku mempercepat langkah lagi, bukan karena takut terlambat upacara tetapi aku mau cepat-cepat lihat mahluk itu dari dekat. Ough...

Aku berdo'a semoga pelantikan PMRnya tidak cuma 3 hari, tetapi menjadi 3 bulan, biar aku selalu ada waktu mencuri pandang Mr. Cool. Aku mencoba untuk mencari kesalahan dalam bentuk apapun. Pura-pura tidak bisa menjawab setiap pertanyaan kakak pembina, memperlambat menghadiri upacara, pura-pura lupa memakai topi atau perlengkapan seragam lainnya. Setidaknya jika aku mendapat hukuman, aku mau Mr. Cool yang menghukum. Apapun hukumannya akan aku lakukan demi dia...hayyyyahhhh.
.............

Jiwa detektifku muncul tiba-tiba, aku menjadi super cerdas dalam mencari informasi apapun, mencari cerita tentang apapun asal berkaitan dengan Mr.Cool.
"Moe...Dia ulang tahunnya kapan ya?" Secara Moe kakak pembina juga, jadi dia bisa tahu
data pribadi anak-anak PMR, jadi sasaran tepat kalau mencari bocoran.
"Hah 14 maret?...cuma beda 4 hari sama aku Moe" aku teriak kegirangan, Kalau di pikir-pikir sekarang sih aneh, lha wong cuma tahu hari lahirnya beda 4 hari aja kok bahagianya kayak di cium Keanu Reeves.
"Tiap Jum'atan juga dia lewat sini" lanjut Moe memberi info yang lagi-lagi membuatku bahagianya naik ke level 7.

Secara sudah dapat bocoran dari Moe, setiap hari Jum'at aku ikut-ikutan sibuk kayak para lelaki yang sibuk menyiapkan diri untuk sholat Jum'at. Kebetulan tempat aku kost rumahnya menyatu dengan rumah Moe hanya di batasi pintu kecil yang kita bisa lewat pintu itu kapanpun kita mau. Jika adzan sudah berkumandang aku juga bergegas, seperti para laki-laki yang juga siap bergegas menuju Masjid. Aku bergegas ke rumah Moe, ku pilih tempat paling strategis mengintip Mr. cool lewat samping rumah Moe...pastinya dengan hati berdebar. Detik-detik mendebarkan huaaaaaaaaaaaa dia lewat, aku selayak fotografer handal memotret dia dengan mata hati lalu kusimpan di memori otakku, ajaib hingga hari ini pun aku masih bisa memutar slide itu. Seakan aku bisa mendengar detak jantungnya saat dia lewat samping rumah itu bedeeeeeehhh.
............

Mulai awal maret aku sedikit mengencangkan ikat pinggang, walau aroma mie ayam Pak Kasmin menggodaku. Walau aku harus puasa Silver Queen untuk bulan ini, yaaa karena setiap dapat wesel tiap bulannya aku selalu menomor satukan Silver Queen di daftar belanja bulanan. Aku juga harus menahan untuk tidak setiap hari berbelok ke warung pecel Yu Piah, yang rasanya tiada banding karena Yu Piah meracik bumbunya pasti dengan senyum yang tersungging di bibirnya. Aku mau membeli hadiah ulang tahun untuk Mr. Cool sebuah topi bergambar Rin Tin-Tin. Untuk membelinya pun harus ke Purwokerto dulu, karena adanya di SE Purwokerto. Rasanya tidak sia-sia, karena dia mau pakai topi itu...duuh senangnya.
......

Tanggal 18 di bulan Maret 14 tahun yang lalu, aku agak terlambat masuk kelas. Secara aku merasa aahh Pak Sugiarto ini yang mengajar jam pertama mata pelajaran Bahasa Inggris yang pada semester pertama di raport nilaiku dapat 9. Bukan karena dia Pakdeku lho...
Dengan santainya aku masuk kelas, kebetulan Pak Sugiarto belum datang. Entah kenapa hari ini agak beda, hampir semua mata sekan tertuju kepadaku apa aku salah pakai baju seragam? atau apa aku yang tiba-tiba berubah menjadi cantik hari ini?...atau? belum sempat aku ber atau-atau lebih lanjut..
"Thia!..lihat ke papan tulis tuh" seru Isti. Belum sempat aku melihat ke papan tulis, Pak Sugiarto tiba-tiba mengucap salam. Riuh rendah anak-anak Takhasus kelas 1 B menjawab salam Pak Sugiarto. Aku urungkan melihat papan tulis menuju tempat duduk biasanya, paling depan sebelah kiri dekat dengan jendela kaca. Belum sempat aku mencari posisi yang nyaman untuk duduk, mataku tertuju pada tulisan yang super besar di papan tulis yang kalau dibaca berbunyi " THIA, WHY DO YOU LOVE ME?". Aku langsung bangkit dan menghapus tulisan itu tergesa-gesa, yang pasti aku takut Pakdeku lihat. Ough hadiah ulang tahunku kah?....

Gubraggg, aku hanya berfikir sesaat, aku tahu itu pasti Mr.Cool yang menulis tadi malam, karena aku sempat melihat ada debu rokok di lantai kelasku, hatiku meleleh...aku merasa tulisan di papan tulis itu sudah merupakan isyarat pasti, bahwa dia tidak tercipta untukku aih....

Love at first sight itu kata siapa ya?...lupa-lupa ingat..pokoknya love at first sight deh ceritanya..jiaaaaaaaaaaaaaa

Sabtu, 06 Juni 2009

Menunggu....

"Mbah, pundi sing sakit?" ku haluskan tiap kata-kata hanya agar dia tahu aku ada di sisinya. Dia tidak menjawab, hanya menunjuk pada perutnya yang semakin membesar dan keras.... aku kelu.

Ku belai tubuh lemahnya, dengan senantiasa ku harap dia merasakan hangat cintaku. Semoga dia merasakan getaran itu melalui pori-pori kulitku. Aku kelu lagi, membisu dalam rindu, ingin ku peluk tetapi ragu. Aku apalah bagi dia.... anganku terbang melayang. Teringat saat dia menampik tangan mungilku yang hendak mencium tangan kekar seorang Mbah Kakung. Salahkah?...

Di balik dapur aku tahu Mbah Putri menghela nafas haru melihat kami berdua. Aku tahu dia ingin aku bisa membuat suaminya jatuh cinta padaku. Tetapi terlalu tinggi tembok itu di buatnya, aku tak mampu mengintip walau hanya untuk memandang sorot matanya. Agar aku bisa tahu adakah cinta untukku?...

"Mbah, Restu pulang dulu ya... besok ada konsultasi skripsi sama dosen pembimbing, ini sudah Bab IV mbah, doakan Januari bisa ikut sidang" pintaku saat berpamitan, dia hanya mengangguk. Mbah Putri mengantarku dengan senyuman khas, sambil memintaku agar datang lagi menengok Mbah Kakung. Aku sendiri berjanji akan sering-sering datang ke Jalan Kucica XII di Bintaro.

Berkutat dengan skripsi tidak membuatku lupa ada Mbah Kakung sedang lemah terkulai, tetapi aku belum bisa lalai dengan tumpukan bahan-bahan skripsiku. Ini janjiku pada Almarhum Mbah Putri dari Bapak bahwa tahun ini aku harus bisa wisuda. Ya, belum genap satu bulan Mbah Putri mengalah pada kanker paru-paru.

Belum lupa aku aroma rumah sakit, sekarang aku kembali berakrab ria dengan rumah sakit. Menapaki koridor-koridor panjang rumah sakit. Satu minggu setelah aku ke Jalan Kucica, Mbah Kakung harus kembali lagi ke rumah sakit. Tergeletak lemah lagi berselang infus.

Aku jarang pulang ke rumah, di kampus biasanya aku menginap di kost Fida anak dari Bude. Aku tak perlu lagi ke Jalan Kucica, kini route berubah dari Ciputat ke Kampung Rambutan menuju Rumah Sakit Tangerang. Waktu tidak jadi alasan untuk aku menunda membezuk Mbah Kakung. Pernah larut malam aku baru tiba di rumah sakit, ku tumpahkan rindu walau hanya sebatas tetesan air mata. Ternyata air mata saja tidak cukup membuatnya luluh untuk segera mencintaiku. Ya Robb, dalam darah ini mengalir juga darahnya. Aku cucu pertama dari Soemantri Siswodihardjo, tetapi tidak pernah ada dalam hatinya.
..........
"Aku ora sudi Bu, nek Nunik mbojo karo Pranowo. Kanti matiku aku ora bakal setuju!" Suara itu membahana memecah hati. Di sudut kamarnya gadis muda itu porak poranda hatinya. Kenapa justru lelaki pilihannya lah yang tidak boleh meminangnya. Lelaki tinggi kurus itu telah memberikan kebahagiaan yang tidak pernah Ia dapat dari keluarganya. Lelaki tinggi kurus itu tidak pernah menjanjikan kebahagiaan apapun padanya, Dia hanya datang membawa setangkup damai dan segenggam harapan pada do'a, bahwa jika mereka berdua hidup bersama maka, tereguklah kebahagiaan.

"Nek arep bali nang umah, nek arep tak aku maning dadi anakku, pegatan disit karo bojomu" Lagi-lagi suara itu membahana. Dan bukan hanya satu hati yang kini porak poranda, Aku tersungkur dalam buaian maya. Apakah aku juga berhak kau benci, apa salahku?... Aku terlahir dari cinta... mengapa aku sengsara?.. Aku yang terlahir dari hasil pernikahan yang sah, bukan karena Ibuku hamil di luar nikah, kenapa Dia malu?. Apa karena Bapakku seorang petani?. Kenapa Darren yang lahir sebelum usia pernikahan orang tuanya menginjak 7 bulan lebih di terima?.. Apa karena Ayah Darren seorang Direktur utama sebuah Bank swasta ternama di Jakarta?.

Tetapi kami selalu setia pulang, walau tak pernah ada senyum sapa untuk kami. Allah lah yang Maha Mengetahui, bahwa kami tulus ingin berbakti walau satu pintanya tidak pernah terlaksana.
............................

"Mbah, besok Restu sidang... do'akan lulus ya" pintaku dalam bisik lembut sebelum meninggalkan rumah sakit. Dia hanya mengangguk, ke sempatkan melirik matanya tapi tak lama aku kembali menunduk agar linangan air mata ini tak terlihat. Kurasakan tangan kirinya memegang pundakku, kemudian menyentuh kepalaku dan tangan itu melorot lagi ke pundakku. Memang tak ada senyum di sudut bibirnya, Aku tahu rasa sakit itulah yang tak mampu lagi membuat lelaki di depanku ini tersenyum, tetapi aku tahu dari sorot mata itu, Dia sebenarnya ingin tersenyum.

Lirih terucap kasih yang tersendat

Kelu juga

Aku tetap setia

Menunggumu melafalkan cintanya padaku

Ini jemariku yang tak lagi mungil, kini mampu memapahmu

Tersungkur dalam do'a itu tak cukup

Menggeliat cemas berharap kau panggil namaku

Sebelum kau benar-benar pergi

Tapi, cinta itu tak pernah jua terucap hingga kau benar-benar pergi

Tapi aku bisa rasakan kau mencintaiku saat terakhir
........................

Mas Tita

Aku menyapukan tangan mungilku pada ilalang dengan hati berbunga-bunga. Sore itu menjadi sore yang paling manis. Langkahku ringan sekali seakan aku menginjak marshmallow berwarna jingga.

Pergi ke langgar adalah rutinitas yang selalu ku tunggu, menunggunya datang waktu ashar dengan berdendang, seolah segalanya menjadi indah dan menjadi mudah untuk melakukan rutinitas apapun.

Tahukah kau mengapa berbunga hatiku... Karena usai mengaji di langgar, Mas Tita selalu mengantarku pulang. Uuuuuh so sweet..

Aku yang paling beruntung karena Mas Tita setia mengantarku pulang, aku tersenyum mengembang diantara wajah-wajah cemberut teman sebaya.

Mas Tita, nama yang manis untuk seorang lelaki dewasa, untuk aku di usia 7 tahun. Terima kasih Mas Tita atas kenangan manisnya.

Selasa, 26 Mei 2009

Sandal Cinta


Buku-buku jariku menari-nari tanpa kusadari padahal tidak ada jenis musik apapun berdendang saat itu, tiba-tiba aku panik, panik beribu panik eeem mungkin sebenarnya bukan panik tapi gabungan dari berbagai perasaan, yang pertama pasti rasa bahagia, yang kedua rasa kaget, yang ketiga rasa malu. Rasa bahagia pastinya karena dialah sumber rinduku yang terdalam. Kaget karena kenapa tiba-tiba dia ada di sini tak jauh dariku hanya beberapa jengkal saja bisa kujangkau jemarinya, harum tubuhnya pun dapat kuciumi, aaah mabuk kepayang seketika diriku. Malu karena pada saat itu mukaku tak layak edar, duh gusti kenapa jerawat ini tidak bisa diajak kompromi.

"Enyahlah barang sebentar dikau jerawat" pintaku.
"Hah, apa hakmu?" tanyanya balik padaku.
"Ini wajahku! kau pikir siapa dirimu, seenaknya muncul tanpa ku undang heh!"gertakku.
"Bodohnya kau ini, aku datang bukankah atas permintaanmu?!" semprot jerawat mulai sengit padaku.
"Maksudnya?" aku tak kalah bingung pada ucap jerawat yang barusan.
"Aku lambang Cinta, tak tahu kah kau?...Bukankah kau dan teman-teman sebayamu selalu berseru, bahwa kedatanganku adalah tanda cinta sedang hadir. Apakah cinta menjadikanmu menjadi bodoh seperti ini?. Sudahlah, biarkan aku di wajahmu, toh setidaknya dia nanti akan tahu bahwa kau mencintainya, jadi tak perlu kau bicara cinta, di akan tahu setelah melihatku, tenang saja..senyum sajalah padanya" cerocos jerawat. Apa lagi ini, aku bodoh gara-gara cinta, bedebah
itu jerawat, dimana-mana biasanya cinta datang selalu menghadirkan kepintaran-kepintaran dadakan bukan?... Seperti Intan yang tiba-tiba jago bikin puisi, padahal sebelum cinta itu datang, gatal-gatal badannya jika membaca roman karya Kahlil Gibran. Aku hanya ber o panjang sekali dalam hati, semoga saja jerawat tidak sedang mengelabuhiku.

"Mas" ya cuma kata itu saja yang keluar dari mulutku, di hiasi senyuman yang seperti di sarankan sang jerawat tadi. Dan seperti biasa aku lalu mencium tangannya, tangan yang berhias jarinya yang panjang-panjang pertanda bahwa dia jangkung sekali, kudaratkan di kening dan sedikit mengenai hidungku. Itu memang cara keluarga besar kami yang selalu mengajarkan cium tangan jika bersalaman dengan orang yang lebih tua. Dia menghadiahkan senyuman manisnya untukku. Senyuman itu di ikuti matanya agak menyipit padaku seolah dia baru mengingat-ingat siapa sih ini orang?.
"Muka kamu kenapa?" tanya mengagetkanku. Lho kok dia tanya juga, bukannya tadi kata jerawat, justru dia tahu kalau aku sedang benar-benar jatuh cinta padanya?... Haduh, aku terpedaya.
"Hihi, jerawatan mas" jawabku sambil memamerkan deret gigiku, sambil mengeloyor pergi.
.............

Cuma gara-gara sepasang sandal? Oh no babe…semua itu ya gara-gara si pemilik sandal itu!. Ya si pemilik sandal itu. Dia tidak asing lagi bagiku juga bagi keluarga besarku dari Bapakku. Neneknya adalah kakak nenekku, keluarga mereka tinggal di Buntu, desa kecil di daerah Banyumas.

Entah persisnya kapan tertabur bunga-bunga seribu rupa di hati ini. Saat-saat kita masih pantas merasa paling bahagia sedunia ketika mendapat sekantong kembang gula, atau meloncat girang tak alang-kepalang ketika menggenggam sebatang cokelat. Maka aku demikian tak relanya menukar bahagiaku, saat dia tersenyum dihadapanku walau dengan berton-ton kembang gula atau dengan ribuan batang cokelat Toblerone sekalipun.

Tahukah kau dunia? Tubuhku seakan melayang ringan, andai saja kau tahu makna diamku, andai saja kau lirik sukmaku. Dia begitu mempesonakan aku dengan otaknya yang genius menurutku atau hanya aku saja yang terlalu berlebihan menggambarkan kegeniusannya, atau karena bodohku yang terlalu sehingga menganggapnya genius? whatever lah. Memang selalu ada waktu bagi keluarga kami untuk bersilaturahmi ke rumahnya, pasti aku berharap ingin bertemu, minimal aku tahu kabar dan cerita terbaru tentang dirinya. Caci maki sajalah aku, biarkan dunia dan seisinya mengejekku betapa centil dan genitnya diriku aiiih.

Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, bulan berganti tahun. Hingga kini, di hari ini dimana kulihat sandalnya tertata rapih di depan pintu rumah nenekku, hatiku makin tak karuan, uuuh jatuh cintakah selama ini?..yang setia dari waktu ke waktu.

Aku membalut perasaan selama ini hanya untuk si pemilik sandal itu, yang sama sekali tidak pernah menampakkan bahwa dia menganggap aku ada. Dan selalu saja Dewi Fortuna tidak pernah memihakku.

Duhai... Sang pujaan sudikah kau sedetik saja menelusup ke bilik hatiku,lihatlah telah ku gores namamu di kanvas kalbu.

Rabu, 15 April 2009

Jingga

Ini Jinggaku, intiplah dia jika kau malu untuk memandangnya....ku beritahu kau, ada semacam damai menyusup perlahan jika kau cumbui Jingga

Ini rahasiaku...aku bangkit saat tergelepar sepi, aku limbung saat bercinta, seakan semu semuanya.

Jingga selalu ada saat sore, ku jemput dia dengan garis manis di bibirku, juga bergumpal-gumpal rindu tertuah di ujung senja.

Aku menyatu dengan alam dengan balutan Jingga, lepas melayang di buai semilir angin.

Ku pinjami Jingga ini untuk Jeree, semoga kau juga merasakan sama seperti apa yang aku rasa saat Jingga menyapa. Setidaknya Jingga bisa membuatmu sedikit terlena..terlepas dari penatnya rutinitas kerja dan jakarta ough...

Sabtu, 21 Maret 2009

Untuk debaranku

Untuk debaranku


Maafkan aku jika dekatmu selalu saja ingin kulumat habis dirimu.

Ketika matamu selalu terpejam

tentu saja aku tidak salah jika kumerindu tatapanmu.

Walau sejenak tatapmu cukup untukku.

Karena saat kau tatap seakan aku terpenjara oleh lembutmu.

Maka jangan pernah berhenti menatapku.

Karena aku suka terpenjara dimatamu

Maafkan aku

Kamis, 19 Maret 2009

Prada

"Tie, lo jangan ngomong macem-macem lagi sama Rafi ya!?" aku tahu suara dari ujung gagang telpon itu tidak dengan nada keras, nadanya lembut seperti biasa, khas suara Prada. Notabene Prada adalah sahabat termanis yang aku punya sejak pertama aku kuliah di salah satu Perguruang Tinggi Negeri di Jakarta. Tetapi entah kenapa nada itu terdengar sangat menyayat hati, tercabik-cabik rasanya. Aku meradang saat itu juga, entah kenapa padahal aku jarang sekali bisa emosi terhadap sahabatku yang satu ini.

Satu persatu teman telah letih sebagai sandarannya hanya kala Prada sendiri ketika kekasihnya pergi mendaki. Ketika kekasihnya datang yang lain adalah hiasan dunia tak bernyawa. Tetapi aku selalu bisa menerima itu semua karena sahabat tidak kenal pamrih, setidaknya itu menurutku.

"Ya udah, kalau begitu aku yang pergi, that it's over" gagang telpon langsung ku letakkan tanpa perasaan lagi. sedetik kemudian telpon berdering, aku tahu pasti Prada lagi. Aku benar-benar pergi, sejak saat itu tidak pernah lagi aku mendengar suara lembutnya.

Lima tahun silam, keegoisanku meraja membuat koyak rajutan cerita antara aku dan Prada. Jika menoleh catatan-catatan kecil kami, terlalu manis dan terlalu mahal untuk di gadai dengan apapun. Tawa ceria kami membahana memecah sunyi, mengubah duka menjadi cita. Tangis kami membuat langit mendung dan tawa tak lagi terdengar dimana-mana. Kami tak terpisahkan sedetikpun dalam hati. Tangis Prada adalah tangisku, tawa Prada adalah tawaku.

Fisikku jauh lebih lemah dari pada Prada, maka ketika aku tumbang selalu saja Prada yang pertama kali terlihat ketika aku membuka mata. Prada selalu ada saat aku tertatih, dia menghiburku dengan caranya ketika aku putus cinta untuk pertama kalinya. Aku pun ada saat Prada rapuh karena kekasihnya lelah bersamanya.

Dimana ada Prada pasti ada aku, walau ada pertengkaran diantara kita pasti tidak akan lama. Mana tahan kita terpisah satu sama lainnya. Itulah aku dan Prada sebelum dering telpon di siang itu.

Aku harus membayar mahal semua itu, keegoisan yang sombong aku congkak dengan diriku, aku merasa bisa terbang tanpa Prada. Yaaa...aku memang bisa terbang tanpa Prada tapi sayapku terkoyak kanan dan kiri.

Prada akhirnya di sunting Rafi, dan aku luput dari berita itu. Karena aku terlanjur pergi. Seharusnya aku ada saat Prada tersenyum menerima pinangan Rafi dan pasti saat itu adalah senyuman termanis Prada. Tetapi aku dimana?... Prada juga tidak pernah mencoba menghubungiku, karena itu pintaku.

Akhir Maret Prada dan Rafi menikah, mereka ternyata masih mengingatku. Aku datang masih dengan angkuhku. Tak ada pelukan hangat, tak ada air mata bahagia diantara kami.

Awal Mei aku menyusul, mereka datang dengan senyum khas Prada, aku masih biasa. Aku terhibur karena Yogyakarta akan segera memelukku. Semoga saja aku bisa benar-benar melupakan Prada.
... ... ...

Jakarta dalam lima tahun berubah pesat aku berdebar De Javu, bukan ini bukan De Javu. Aku menelusuri jalan yang biasa aku lalui jika rindu pada Prada. Debarku makin tak tentu, ku coba kuasai tubuh terutama hatiku.

Gerbang itu tidak berubah, sama sekali persis dulu ketika salah satu kamar di rumah ini sebagai saksi cerita masa remaja aku dan Prada.

"Hai" sapaku terbata, Prada meloncat kaget melihat aku berdiri mematung di depan pintu rumahnya.

"Tie, hai pa kabar?" Prada lebih bisa menguasai suasana. Senyumnya, suara lembutnya tidak berubah. Kami melebur menjadi satu, sama seperti dahulu lima tahun yang lalu. Seakan kami tidak pernah terpisah dan tidak pernah ada dering telpon di siang itu. Yang beda hanya Prada semakin manis dan harum sekali tubuhnya.

Aku tersentak oleh dering telpon siang itu, "apa?" hanya itu yang mampu terucap, seakan tulang-belulangku di lolosi satu persatu, aku ambruk lemah lunglai. Aku baru saja bermimpi melebur tawa bersama Prada, mengulang manisnya persahabatan kita. Ya ternyata itu semua hanya mimpi yang tidak akan pernah terwujud.

Mobil yang membawa Prada berlibur ke Yogyakarta tidak benar-benar mengantar Prada menemuiku, tetapi membawa Prada pergi sangat jauh dan tak akan pernah kembali dengan membawa semua kenangan aku dengannya.

Aku benci dering telpon di siang hari.