Sabtu, 21 Maret 2009

Untuk debaranku

Untuk debaranku


Maafkan aku jika dekatmu selalu saja ingin kulumat habis dirimu.

Ketika matamu selalu terpejam

tentu saja aku tidak salah jika kumerindu tatapanmu.

Walau sejenak tatapmu cukup untukku.

Karena saat kau tatap seakan aku terpenjara oleh lembutmu.

Maka jangan pernah berhenti menatapku.

Karena aku suka terpenjara dimatamu

Maafkan aku

Kamis, 19 Maret 2009

Prada

"Tie, lo jangan ngomong macem-macem lagi sama Rafi ya!?" aku tahu suara dari ujung gagang telpon itu tidak dengan nada keras, nadanya lembut seperti biasa, khas suara Prada. Notabene Prada adalah sahabat termanis yang aku punya sejak pertama aku kuliah di salah satu Perguruang Tinggi Negeri di Jakarta. Tetapi entah kenapa nada itu terdengar sangat menyayat hati, tercabik-cabik rasanya. Aku meradang saat itu juga, entah kenapa padahal aku jarang sekali bisa emosi terhadap sahabatku yang satu ini.

Satu persatu teman telah letih sebagai sandarannya hanya kala Prada sendiri ketika kekasihnya pergi mendaki. Ketika kekasihnya datang yang lain adalah hiasan dunia tak bernyawa. Tetapi aku selalu bisa menerima itu semua karena sahabat tidak kenal pamrih, setidaknya itu menurutku.

"Ya udah, kalau begitu aku yang pergi, that it's over" gagang telpon langsung ku letakkan tanpa perasaan lagi. sedetik kemudian telpon berdering, aku tahu pasti Prada lagi. Aku benar-benar pergi, sejak saat itu tidak pernah lagi aku mendengar suara lembutnya.

Lima tahun silam, keegoisanku meraja membuat koyak rajutan cerita antara aku dan Prada. Jika menoleh catatan-catatan kecil kami, terlalu manis dan terlalu mahal untuk di gadai dengan apapun. Tawa ceria kami membahana memecah sunyi, mengubah duka menjadi cita. Tangis kami membuat langit mendung dan tawa tak lagi terdengar dimana-mana. Kami tak terpisahkan sedetikpun dalam hati. Tangis Prada adalah tangisku, tawa Prada adalah tawaku.

Fisikku jauh lebih lemah dari pada Prada, maka ketika aku tumbang selalu saja Prada yang pertama kali terlihat ketika aku membuka mata. Prada selalu ada saat aku tertatih, dia menghiburku dengan caranya ketika aku putus cinta untuk pertama kalinya. Aku pun ada saat Prada rapuh karena kekasihnya lelah bersamanya.

Dimana ada Prada pasti ada aku, walau ada pertengkaran diantara kita pasti tidak akan lama. Mana tahan kita terpisah satu sama lainnya. Itulah aku dan Prada sebelum dering telpon di siang itu.

Aku harus membayar mahal semua itu, keegoisan yang sombong aku congkak dengan diriku, aku merasa bisa terbang tanpa Prada. Yaaa...aku memang bisa terbang tanpa Prada tapi sayapku terkoyak kanan dan kiri.

Prada akhirnya di sunting Rafi, dan aku luput dari berita itu. Karena aku terlanjur pergi. Seharusnya aku ada saat Prada tersenyum menerima pinangan Rafi dan pasti saat itu adalah senyuman termanis Prada. Tetapi aku dimana?... Prada juga tidak pernah mencoba menghubungiku, karena itu pintaku.

Akhir Maret Prada dan Rafi menikah, mereka ternyata masih mengingatku. Aku datang masih dengan angkuhku. Tak ada pelukan hangat, tak ada air mata bahagia diantara kami.

Awal Mei aku menyusul, mereka datang dengan senyum khas Prada, aku masih biasa. Aku terhibur karena Yogyakarta akan segera memelukku. Semoga saja aku bisa benar-benar melupakan Prada.
... ... ...

Jakarta dalam lima tahun berubah pesat aku berdebar De Javu, bukan ini bukan De Javu. Aku menelusuri jalan yang biasa aku lalui jika rindu pada Prada. Debarku makin tak tentu, ku coba kuasai tubuh terutama hatiku.

Gerbang itu tidak berubah, sama sekali persis dulu ketika salah satu kamar di rumah ini sebagai saksi cerita masa remaja aku dan Prada.

"Hai" sapaku terbata, Prada meloncat kaget melihat aku berdiri mematung di depan pintu rumahnya.

"Tie, hai pa kabar?" Prada lebih bisa menguasai suasana. Senyumnya, suara lembutnya tidak berubah. Kami melebur menjadi satu, sama seperti dahulu lima tahun yang lalu. Seakan kami tidak pernah terpisah dan tidak pernah ada dering telpon di siang itu. Yang beda hanya Prada semakin manis dan harum sekali tubuhnya.

Aku tersentak oleh dering telpon siang itu, "apa?" hanya itu yang mampu terucap, seakan tulang-belulangku di lolosi satu persatu, aku ambruk lemah lunglai. Aku baru saja bermimpi melebur tawa bersama Prada, mengulang manisnya persahabatan kita. Ya ternyata itu semua hanya mimpi yang tidak akan pernah terwujud.

Mobil yang membawa Prada berlibur ke Yogyakarta tidak benar-benar mengantar Prada menemuiku, tetapi membawa Prada pergi sangat jauh dan tak akan pernah kembali dengan membawa semua kenangan aku dengannya.

Aku benci dering telpon di siang hari.