Selasa, 26 Mei 2009

Sandal Cinta


Buku-buku jariku menari-nari tanpa kusadari padahal tidak ada jenis musik apapun berdendang saat itu, tiba-tiba aku panik, panik beribu panik eeem mungkin sebenarnya bukan panik tapi gabungan dari berbagai perasaan, yang pertama pasti rasa bahagia, yang kedua rasa kaget, yang ketiga rasa malu. Rasa bahagia pastinya karena dialah sumber rinduku yang terdalam. Kaget karena kenapa tiba-tiba dia ada di sini tak jauh dariku hanya beberapa jengkal saja bisa kujangkau jemarinya, harum tubuhnya pun dapat kuciumi, aaah mabuk kepayang seketika diriku. Malu karena pada saat itu mukaku tak layak edar, duh gusti kenapa jerawat ini tidak bisa diajak kompromi.

"Enyahlah barang sebentar dikau jerawat" pintaku.
"Hah, apa hakmu?" tanyanya balik padaku.
"Ini wajahku! kau pikir siapa dirimu, seenaknya muncul tanpa ku undang heh!"gertakku.
"Bodohnya kau ini, aku datang bukankah atas permintaanmu?!" semprot jerawat mulai sengit padaku.
"Maksudnya?" aku tak kalah bingung pada ucap jerawat yang barusan.
"Aku lambang Cinta, tak tahu kah kau?...Bukankah kau dan teman-teman sebayamu selalu berseru, bahwa kedatanganku adalah tanda cinta sedang hadir. Apakah cinta menjadikanmu menjadi bodoh seperti ini?. Sudahlah, biarkan aku di wajahmu, toh setidaknya dia nanti akan tahu bahwa kau mencintainya, jadi tak perlu kau bicara cinta, di akan tahu setelah melihatku, tenang saja..senyum sajalah padanya" cerocos jerawat. Apa lagi ini, aku bodoh gara-gara cinta, bedebah
itu jerawat, dimana-mana biasanya cinta datang selalu menghadirkan kepintaran-kepintaran dadakan bukan?... Seperti Intan yang tiba-tiba jago bikin puisi, padahal sebelum cinta itu datang, gatal-gatal badannya jika membaca roman karya Kahlil Gibran. Aku hanya ber o panjang sekali dalam hati, semoga saja jerawat tidak sedang mengelabuhiku.

"Mas" ya cuma kata itu saja yang keluar dari mulutku, di hiasi senyuman yang seperti di sarankan sang jerawat tadi. Dan seperti biasa aku lalu mencium tangannya, tangan yang berhias jarinya yang panjang-panjang pertanda bahwa dia jangkung sekali, kudaratkan di kening dan sedikit mengenai hidungku. Itu memang cara keluarga besar kami yang selalu mengajarkan cium tangan jika bersalaman dengan orang yang lebih tua. Dia menghadiahkan senyuman manisnya untukku. Senyuman itu di ikuti matanya agak menyipit padaku seolah dia baru mengingat-ingat siapa sih ini orang?.
"Muka kamu kenapa?" tanya mengagetkanku. Lho kok dia tanya juga, bukannya tadi kata jerawat, justru dia tahu kalau aku sedang benar-benar jatuh cinta padanya?... Haduh, aku terpedaya.
"Hihi, jerawatan mas" jawabku sambil memamerkan deret gigiku, sambil mengeloyor pergi.
.............

Cuma gara-gara sepasang sandal? Oh no babe…semua itu ya gara-gara si pemilik sandal itu!. Ya si pemilik sandal itu. Dia tidak asing lagi bagiku juga bagi keluarga besarku dari Bapakku. Neneknya adalah kakak nenekku, keluarga mereka tinggal di Buntu, desa kecil di daerah Banyumas.

Entah persisnya kapan tertabur bunga-bunga seribu rupa di hati ini. Saat-saat kita masih pantas merasa paling bahagia sedunia ketika mendapat sekantong kembang gula, atau meloncat girang tak alang-kepalang ketika menggenggam sebatang cokelat. Maka aku demikian tak relanya menukar bahagiaku, saat dia tersenyum dihadapanku walau dengan berton-ton kembang gula atau dengan ribuan batang cokelat Toblerone sekalipun.

Tahukah kau dunia? Tubuhku seakan melayang ringan, andai saja kau tahu makna diamku, andai saja kau lirik sukmaku. Dia begitu mempesonakan aku dengan otaknya yang genius menurutku atau hanya aku saja yang terlalu berlebihan menggambarkan kegeniusannya, atau karena bodohku yang terlalu sehingga menganggapnya genius? whatever lah. Memang selalu ada waktu bagi keluarga kami untuk bersilaturahmi ke rumahnya, pasti aku berharap ingin bertemu, minimal aku tahu kabar dan cerita terbaru tentang dirinya. Caci maki sajalah aku, biarkan dunia dan seisinya mengejekku betapa centil dan genitnya diriku aiiih.

Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, bulan berganti tahun. Hingga kini, di hari ini dimana kulihat sandalnya tertata rapih di depan pintu rumah nenekku, hatiku makin tak karuan, uuuh jatuh cintakah selama ini?..yang setia dari waktu ke waktu.

Aku membalut perasaan selama ini hanya untuk si pemilik sandal itu, yang sama sekali tidak pernah menampakkan bahwa dia menganggap aku ada. Dan selalu saja Dewi Fortuna tidak pernah memihakku.

Duhai... Sang pujaan sudikah kau sedetik saja menelusup ke bilik hatiku,lihatlah telah ku gores namamu di kanvas kalbu.