Sabtu, 06 Juni 2009

Menunggu....

"Mbah, pundi sing sakit?" ku haluskan tiap kata-kata hanya agar dia tahu aku ada di sisinya. Dia tidak menjawab, hanya menunjuk pada perutnya yang semakin membesar dan keras.... aku kelu.

Ku belai tubuh lemahnya, dengan senantiasa ku harap dia merasakan hangat cintaku. Semoga dia merasakan getaran itu melalui pori-pori kulitku. Aku kelu lagi, membisu dalam rindu, ingin ku peluk tetapi ragu. Aku apalah bagi dia.... anganku terbang melayang. Teringat saat dia menampik tangan mungilku yang hendak mencium tangan kekar seorang Mbah Kakung. Salahkah?...

Di balik dapur aku tahu Mbah Putri menghela nafas haru melihat kami berdua. Aku tahu dia ingin aku bisa membuat suaminya jatuh cinta padaku. Tetapi terlalu tinggi tembok itu di buatnya, aku tak mampu mengintip walau hanya untuk memandang sorot matanya. Agar aku bisa tahu adakah cinta untukku?...

"Mbah, Restu pulang dulu ya... besok ada konsultasi skripsi sama dosen pembimbing, ini sudah Bab IV mbah, doakan Januari bisa ikut sidang" pintaku saat berpamitan, dia hanya mengangguk. Mbah Putri mengantarku dengan senyuman khas, sambil memintaku agar datang lagi menengok Mbah Kakung. Aku sendiri berjanji akan sering-sering datang ke Jalan Kucica XII di Bintaro.

Berkutat dengan skripsi tidak membuatku lupa ada Mbah Kakung sedang lemah terkulai, tetapi aku belum bisa lalai dengan tumpukan bahan-bahan skripsiku. Ini janjiku pada Almarhum Mbah Putri dari Bapak bahwa tahun ini aku harus bisa wisuda. Ya, belum genap satu bulan Mbah Putri mengalah pada kanker paru-paru.

Belum lupa aku aroma rumah sakit, sekarang aku kembali berakrab ria dengan rumah sakit. Menapaki koridor-koridor panjang rumah sakit. Satu minggu setelah aku ke Jalan Kucica, Mbah Kakung harus kembali lagi ke rumah sakit. Tergeletak lemah lagi berselang infus.

Aku jarang pulang ke rumah, di kampus biasanya aku menginap di kost Fida anak dari Bude. Aku tak perlu lagi ke Jalan Kucica, kini route berubah dari Ciputat ke Kampung Rambutan menuju Rumah Sakit Tangerang. Waktu tidak jadi alasan untuk aku menunda membezuk Mbah Kakung. Pernah larut malam aku baru tiba di rumah sakit, ku tumpahkan rindu walau hanya sebatas tetesan air mata. Ternyata air mata saja tidak cukup membuatnya luluh untuk segera mencintaiku. Ya Robb, dalam darah ini mengalir juga darahnya. Aku cucu pertama dari Soemantri Siswodihardjo, tetapi tidak pernah ada dalam hatinya.
..........
"Aku ora sudi Bu, nek Nunik mbojo karo Pranowo. Kanti matiku aku ora bakal setuju!" Suara itu membahana memecah hati. Di sudut kamarnya gadis muda itu porak poranda hatinya. Kenapa justru lelaki pilihannya lah yang tidak boleh meminangnya. Lelaki tinggi kurus itu telah memberikan kebahagiaan yang tidak pernah Ia dapat dari keluarganya. Lelaki tinggi kurus itu tidak pernah menjanjikan kebahagiaan apapun padanya, Dia hanya datang membawa setangkup damai dan segenggam harapan pada do'a, bahwa jika mereka berdua hidup bersama maka, tereguklah kebahagiaan.

"Nek arep bali nang umah, nek arep tak aku maning dadi anakku, pegatan disit karo bojomu" Lagi-lagi suara itu membahana. Dan bukan hanya satu hati yang kini porak poranda, Aku tersungkur dalam buaian maya. Apakah aku juga berhak kau benci, apa salahku?... Aku terlahir dari cinta... mengapa aku sengsara?.. Aku yang terlahir dari hasil pernikahan yang sah, bukan karena Ibuku hamil di luar nikah, kenapa Dia malu?. Apa karena Bapakku seorang petani?. Kenapa Darren yang lahir sebelum usia pernikahan orang tuanya menginjak 7 bulan lebih di terima?.. Apa karena Ayah Darren seorang Direktur utama sebuah Bank swasta ternama di Jakarta?.

Tetapi kami selalu setia pulang, walau tak pernah ada senyum sapa untuk kami. Allah lah yang Maha Mengetahui, bahwa kami tulus ingin berbakti walau satu pintanya tidak pernah terlaksana.
............................

"Mbah, besok Restu sidang... do'akan lulus ya" pintaku dalam bisik lembut sebelum meninggalkan rumah sakit. Dia hanya mengangguk, ke sempatkan melirik matanya tapi tak lama aku kembali menunduk agar linangan air mata ini tak terlihat. Kurasakan tangan kirinya memegang pundakku, kemudian menyentuh kepalaku dan tangan itu melorot lagi ke pundakku. Memang tak ada senyum di sudut bibirnya, Aku tahu rasa sakit itulah yang tak mampu lagi membuat lelaki di depanku ini tersenyum, tetapi aku tahu dari sorot mata itu, Dia sebenarnya ingin tersenyum.

Lirih terucap kasih yang tersendat

Kelu juga

Aku tetap setia

Menunggumu melafalkan cintanya padaku

Ini jemariku yang tak lagi mungil, kini mampu memapahmu

Tersungkur dalam do'a itu tak cukup

Menggeliat cemas berharap kau panggil namaku

Sebelum kau benar-benar pergi

Tapi, cinta itu tak pernah jua terucap hingga kau benar-benar pergi

Tapi aku bisa rasakan kau mencintaiku saat terakhir
........................

Tidak ada komentar:

Posting Komentar